top of page
Search

SEJARAH LIUR EMAS DI NUSANTARA

Updated: Nov 28, 2018


Sarang burung walet menguning seiring disimpan dalam waktu lama.
Liur Emas

Ratusan tahun perdagangan sarang burung walet asal Indonesia


Sudah ratusan tahun Indonesia berdagang sarang burung walet dengan Tiongkok. Tiongkok sohor dengan dua barang, yakni porselen dan kain sutra. Dua produk asal Tiongkok itu sering ditukarkan dengan hasil bumi Indonesia; salah satunya sarang burung walet. Lantas, kapan pertama kali perdagangan sarang burung walet dimulai?


Menurut pakar sarang burung walet di Jakarta, Dr Boedi Mranata, kurun waktu persis pertama kali perdagangan walet di tanah air dengan Tiongkok sulit diperkirakan. Namun, pada abad ke-9, tepatnya tahun 832 masehi, ada kapal karam di perairan Sumatera. Kapal ini berasal dari Tiongkok dan memuat guci sebagai barang dagangan. Guci porselen itu dipercaya sebagai alat barter dengan hasil bumi Nusantara, salah satunya sarang burung walet. Kemudian pada abad ke-14, laksamana Cheng Ho tiba di Nusantara. Sejarah mencatat pada era laksamana Cheng Ho perdagangan sarang burung walet dengan Tiongkok sudah dilakukan.

Liur emas


Tiongkok memang memiliki budaya mengonsumsi sarang burung walet. Konsumsinya bahkan rutin dan terbanyak di dunia. Menurut ketua The China National Agriculture Wholesale Market Association (CAWA), Ma Jengzun, tren konsumsi sarang burung walet terpusat di daerah selatan Tiongkok. Hingga kini masyarakat selatan Tiongkok rutin mengonsumsi berbagai olahan sarang burung walet. Konsumsi terutama sebagai makanan ibu hamil dan makanan bayi. Adapun, daerah utara Tiongkok belum terlalu familiar mengonsumsi sarang burung walet.


Lantas darimana asal budaya konsumsi sarang walet di Tiongkok? Boedi menduga budaya konsumsi liur emas berasal dari Pulau Hainan. Hal ini disebabkan karena Pulau Hainan beriklim lebih hangat dibandingkan Tiongkok daratan. Pulau Hainan adalah pusat sarang burung walet di Tiongkok. Namun, produksi sarang burung walet di Pulau Hainan sangat sedikit. Hal itu mendorong Tiongkok mencari sarang burung walet ke daerah lain ke selatan. Salah satunya Indonesia, atau dulu dikenal Nusantara.


Menurut Boedi kondisi perdagangan dulu tentunya berbeda dengan sekarang. Dulu tidak ada rumah burung burung walet. Produk yang tersedia hanya sarang panenan alam dari gua. Panenan itulah yang kemudian dikirim ke Tiongkok dengan jumlah yang terbatas. Boedi memperkirakan, perdagangan zaman dahulu tidak mencapai 5% dari saaat ini. Jika kini perdagangan sarang burung walet mencapai 1000 ton per tahun, mungkin hanya puluhan ton pada zaman dulu.


Selain itu, dulu harga walet sangat mahal karena jumlahnya sangat terbatas, sehingga setara dengan harga emas. Karena itu, tidak semua orang bisa mengonsumsi sarang walet. Konsumennya hanya raja, bangsawan, atau orang yang sangat kaya. Fakta ini didukung oleh penemuan di Forbidden City, yang berupa sebuah kotak berisi sarang walet. Umur sarang burung walet itu diperkirakan sudah ratusan tahun. Menurut Boedi, bentuknya tidak berubah, hanya warnannya menguning. Karena adanya perubahan warna, diperkirakan kandungan gizi di dalamnya juga berubah.


Kapan ada pengolahan sarang burung di Indonesia? Menurut Boedi, hingga tahun 1970, sarang burung walet yang dikirim ke Singapura masih berupa barang mentah. Yakni masih ada bulu burung pada sarang tersebut. Mulai tahun 1980, beberapa pelaku usaha mulai mengolah dengan cara mencuci sarang burung walet. Tahun 1995, mulai banyak pelaku usaha mengekspor sarang burung walet ke Tiongkok. Kala itu belum ada istilah legal atau illegal. Semua dikirim bisa lewat Hongkong dan negara lain. Pada tahun 1995 pula tren konsumsi sarang walet mulai meningkat dengan pesat.


Pada 2010 Tiongkok mulai memperketat masuknya barang impor. Tahun 2010 akhirnya menjadi titik terkelam perdagangan sarang burung walet dari Indonesia ke Tiongkok dan diperkelam dengan adanya isu nitrit. Karena itu, hanya sedikit sarang burung yang bisa masuk ke Tiongkok, sehingga harga turun drastis. Namun, tahun 2013 Indonesia dan Tiongkok meresmikan kerjasama aturan perdagangan sarang burung walet. Puncaknya ada di tahun 2015, dimana Indonesia mengirim sarang burung walet resmi pertamakali ke Tiongkok.


Hingga kini harga sarang burung walet masih terbilang tinggi, sehingga menjadi komoditas unggul yang bisa menunjang devisa Indonesia. Harga tinggi tentu berkaitan erat dengan hukum ekonomi, yaitu hukum permintaan dan penawaran. Boedi mencontohkan, berapa persen orang Tiongkok mengonsumsi sarang burung? Jika analoginya hanya 10% masyarakat Tiongkok mengonsumsi sarang burung, berarti ada 130 juta konsumen. Jika rata-rata produksi sarang burung walet Indonesia 800 ton per tahun, dan bobot satu kilogram sarang burung walet rata-rata 150 sarang, maka produksi total Indonesia kurang lebih adalah 130-juta sarang burung walet per tahun. Artinya, jika 10% orang Tiongkok konsumsi sarang walet, maka produksi Indonesia dalam setahun bisa habis dalam 1 hari. Adapun, jika hanya 1% orang Tiongkok konsumsi sarang walet, maka dalam 10 hari sarang walet produksi Indonesia akan habis. Kemudian, jika hanya 0,1%, sarang burung produksi Indonesia akan habis dalam 100 hari. Perkiraan Boedi konsumen hanya 0,03 persen masyarakat Tiongkok yang mengonsumsi sarang burung. Jumlah itu masih sangat sedikit. Artinya, dari 10.000 orang Tiongkok hanya 3 orang yang mengonsumsi sarang burung. Karena itu, peningkatan konsumsi sarang burung di Tiongkok akan sangat mempengaruhi harga. Hal ini disebabkan tingginya permintaan sarang burung, dibandingkan dengan barang yang tersedia di Tiongkok, karena banyaknya orang tiongkok yang mengonsumsi sarang burung. Hal inilah yang diyakini akan selalu menjaga harga sarang burung walet tetap tinggi.












553 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page